1.1 Definisi (ta’rif) Insan
Manusia dapat didefinisikan
sebagai makhluk Allah SWT yang terdiri dari ruh dan jasad yang muliakan Allah
SWT dengan posisi sebagai khalifah di muka bumi dan bertugas untuk mengabdi kepada-Nya.
1.2 Hakekat Insan (Manusia)
Manusia itu terdiri dari ruh dan
jasad. Dan ruh yang hidup dalam daging dan tulang-belulang, ia memiliki nilai
lebih besar daripada seluruh alam kebendaan. Meskipun ruh dan jiwa berkaitan
dengan jasad yang berupa benda, namun adanya manusia adalah berkat adanya ruh.
Dan ruh adalah asal dan sumber kepribadian manusia, seolah-olah seluruh alam
wujud ini diciptakan Allah SWT untuk membentuk manusia agar dapat mengenal
hakekat dirinya.
Ruh manusia itu berasal dari alam arwah (alam yang hakikatnya tidak dapat
diketahui oleh manusia di mana tempatnya), sedangkan jasmani berasal dari
tanah. Setelah keduanya digabung menjadi satu, manusia dimasukkan ke alam yang
ke dua yaitu alam rahim (alam kandungan). Setelah terlahir dari perut ibunya,
manusia memasuki alam ke tiga yaitu alam dunia (alam fana). Di alam dunia ini
manusia akan tinggal untuk sementara sesuai dengan jatah umur yang diberikan
oleh Allah SWT.
Dan mengapa mereka tidak
memikirkan tentang (kejadian) diri mereka?, Allah tidak menjadikan langit dan
bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar
dan waktu yang ditentukan.Dan sesungguhnya kebanyakan diantara manusia
benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Rabbnya. (QS. Ar-Rum (30) : 8).
Kemudian setelah manusia mati,
baik secara husnul khatimah maupun suul khatimah, ia akan memasuki alam ke
empat, yaitu alam kubur (alam barzakh). Di alam ke empat ini manusia akan
tinggal sampai tiba hari kiamat atau hari kebangkitan (yaumul ba’ts). Setelah
dibangkitkan kembali, manusia akan memasuki alam yang ke lima yaitu padang
Mahsyar. Dan di padang Mahsyar inilah semua manusia akan mempertanggungjawabkan
seluruh amal perbuatannya selama hidup di dunia. Apabila ia berbuat baik selama
hidupnya, maka surgalah bagiannya, dan apabila selama hidupnya banyak berbuat
maksiat, maka nerakalah yang akan menjadi tempat kedudukannya. Surga dan neraka
adalah alam yang ke enam setelah alam Mahsyar.
Dengan akal yang dimilikinya,
dalam pandangan Islam, manusia tidak hanya dimuliakan karena ia berbeda dari
makhluk yang lainnya, akan tetapi ia dimuliakan karena kualitas kehidupannya di
dunia. Kualitas kehidupan manusia tersebut, ditentukan oleh kualitas dan
kuantitas pengabdiannya kepada sang pencipta, Allah SWT; karena pada dasarnya
manusia diciptakan hanya untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT. Semakin baik
pengabdiannya kepada Allah SWT, maka ia akan semakin baik dan mulia
kedudukannya di sisi Allah SWT. Akan tetapi apabila manusia itu tidak sanggup
memerankan sebagai hamba Allah yang baik yang selalu meningkatkan pengabdian
kepada-Nya, maka ia akan lebih hina sekalipun harus dibandingkan dengan makhluk
Allah yang bernama hewan.
Oleh karena itu, maka sudah
seharusnya sebagai manusia yang beriman mengoptimalkan anugerah Allah SWT
berupa pendengaran, penglihatan dan hati untuk mendengar, melihat dan memahami
ayat-ayat Allah SWT, agar keimanan senantiasa bertambah, sehingga terus
bersemangat untuk membelkali diri dengan ketakwaan atau pengabdian kepada Allah
SWT dalam rangka menyongsong kehidupan yang abadi di akhirat kelak dengan penuh
kebahagiaan dan kesejahteraan.
Sesungguhnya, tidak ada lagi
perbekalan yang akan meninggikan derajat manusia di dunia dan di akhirat kelak,
kecuali bekal ketakwaan, sebagaimana firman Allah SWT :
Yang artinya : “Berbekalah, dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai
orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah (2) :197)
1.3 Potensi Manusia (Thaqatul
insan)
Di antara potensi-potensi yang
telah dianugerahkan Allah SWT kepada manusia adalah :
1.3.1 Pendengaran, Penglihatan
dan Hati
Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur. (QS. An-Nahl (16) :78)
1.3.2 Akal
Di antara semua makhluk yang ada
di dunia, manusia adalah makhluk yang paling sempurna, baik dari segi fisik
maupun pemikiran. Makhluk yang mendekati kesemurnaan manusia adalah hewan,
namun ia hanya sanggup mendekati tidak mungkin menyamai kesempurnaan manusia.
Kesempurnaan manusia adalah
karena manusia diberi akal oleh Allah SWT, sehingga ia memiliki kemampuan untuk
memahami siapa dirinya, dan siapa Allah SWT dan untuk sebenarnya ia diciptakan,
di mana dengan pemahaman ini akan menghantarkannya kepada kemuliaan yang
sesungguhnya, dan bukan hanya mulia dari sisi penciptaannya saja.
1.3.3 Jasad
Jasad atau anggota tubuh
merupakan bagian dari potensi yang dimiliki oleh manusia, untuk membuktikan
keimanan dan keislamannya dengan perbuatan. Apa yang telah dilihat oleh hamba,
didengar dan difahami dengan akalnnya dari syriat Islam melalui ayat-ayat Allah
SWT, kemudian ditentukan oleh hatinya mana yang harus dipilih dan dilakukan,
maka giliran jasadlah selanjutnya untuk membuktikan dengan perbuatan.
Dengan demikian sesungguhnya
potensi yang diberikan kepada manusia sudah sangat sempurna, tinggal bagaimana
manusia itu mengoftimalkan potensi tersebut untuk menjadi manusi yang paling
mulia baik didunia ataupun diakhirat kelak dihadapan mahkamah Allah SWT.
1.4 Hakekat Ibadah
1.4.1 Makna Ibadah
Para ulama tauhid dan ulama ushul
fiqh meberikan definisi ibadah, bahwa ibadah adalah sebuah nama atau sebutan
untuk segala sesuatu, baik ucapan ataupun perbuatan, yang dicintai dan diridloi
oleh Allah SWT baik yang nampak ataupun tidak. Ibadah adalah suatu cara untuk
mensucikan jiwa dan amal perbuatan manusia, dan ia merupakan prilaku atau tata
cara kehidupan seseorang berdasarkan keikhlasan hati sambil mengharap rahmat
dan keridlaan Allah Ta’ala.
Mereka mengklasipikasikan ibadah
menjadi dua bagian, yaitu ibadah mahdlah dan ghair mahdlah. Ibadah mahdlah
adalah ibadah yang dikerjakan secara langsung berhubungan dengan Allah, seperti
shalat, shaum dan haji. Sedangkan ibadah ghair mahdlah adalah ibadah yang tidak
berhubungan langsung dengan Allah SWT, namun ada hubungannya dengan manusia
terlebih dahulu, seperti zakat, infaq dan shadaqah.
1.4.2 Rukun-rukun Ibadah
Pertama, kecintaan yang utuh terhadap al-Ma’bud (Allah SWT). Allah
SWT berfirman,
Artinya
: Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah. Adapan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada
Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika
mereka melihat siksa (pada Hari Kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah
semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksa-Nya (niscaya mereka menyesal). (QS.
Al-Baqarah (2) :165)
Kedua, pengharapan yang sempurna terhadap al-Ma’bud (rahmat-Nya). Allah
SWT berfirman,
Orang-orang yang mereka seru itu,
mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang
lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya;
sesungguhnya azab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti. (QS. Al-Israa`
(17) : 57)
Ketiga, rasa takut yang sangat terhadap al-Ma’bud (dari adzab-Nya).
Allah SWT berfirman,
Orang-orang yang mereka seru itu,
mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang
lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya;
sesungguhnya azab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti. (QS. Al-Israa`
(17) : 57)
1.4.3 Syarat diterimanya Ibadah
Ibadah tidak akan diterima,
kecuali memenuhi dua syarat, yaitu :
Pertama, Ikhlas dalam melakukan
ibadah semata-mata mengharap ridla Allah SWT.
Sesungguhnya Allah SWT tidak akan
menerima ibadah seorang hamba, kecuali ibadah tersebut dilakukan dengan penuh
keikhlasan, hanya untuk mendapatkan keridlaan-Nya. Ketika seorang hamba
melakukan suatu ibadah, tetapi niat yang ada di dalam hatinya adalah riya
(ingin dilihat orang lain), atau sum’ah (ingin didengar), atau ingin dikatakan
pahlawan, sehingga banyak disebut-sebut orang dan lain sebagainya, itus semua
merupakan indikasi ketidak-ikhlasan dalam melakukan suatu ibadah. Oleh karena
itu, Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya, agar kita tidak melakukan ibadah,
kecuali semata-mata mengharap keridlaan-Nya.
Kedua, mengikuti sunnah
Rasulullah SAW.
Syarat yang ke dua untuk
diterimanya suatu ibadah adalah, bahwa ibadah tersebut harus sesuai dengan apa
yang dicontohkan dan diperintahkan Rasulullah SAW; karena Allah SWT tidak akan
pernah menerima suatu ibadah kecuali sesuai dengan contoh Rasulullah SAW.
Setiap ibadah yang dilakukan oleh
seorang hamba tidak bisa dilakukan dengan sembarangan, karena hal itu tidak
dapat dibenarkan menurut syari’at. Ketika kita melaksanakan shalat-shaum, zakat
dan haji harus senantiasa berdasarkan contoh Rasulullah SAW; jika tidak maka
kita hanya akan mendapatkan capeknya saja. Hal itu pernah digambarkan oleh
Baginda Rasulullah SAW, ada di antara umat Islam yang shalatnya hanya
membuahkan capeknya saja dan ketika mereka shaum, hanya mendapatkan lapar dan
dahaganya saja.
Dalam realita kehidupan beribadah
di tengah-tengah masyarakat, bahkan di kalangan para santri dan santriwati,
terkadang muncul sebuah pernyataan, aku melakukan ibadah seperti ini karena
guruku juga melakukannya, atau karena ustadz fulan juga membolehkannya, atau
keluargaku sudah turun-temurun melakukan ibadah dengan cara seperti ini.
Prinsip melakukan ibadah seperti
itu, tentunya tidak sesuai dengan apa yang telah Allah SWT tetapkan,
bahwasannya, bahwa ibadah yang dilakukan oleh seorang hamba harus sesuai dengan
apa yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW, karena beliau
sebagai utusan Allah, memiliki tugas menyampaikan sekaligus menjelaskan risalah
Allah SWT, termasuk juga menjelasakan permasalahn ibadah, oleh karena itu,
ibadah yang dilakukan oleh seseorang tanpa berdasarkan kepada contoh Rasulullah
SAW, walaupun berargumentasi dengan menyebut, unstadznya, orang tuanya, ataupun
siapa saja, sebenarnya itu semuanya merupakan bentuk taklid buta dengan tanpa
mengetahui dasar –dasar yang sesungguhnya dari Rasulullah SAW.
1.4.4 Tujuan Ibadah
Ibadah yang dilakukan oleh
seorang hamba, pada dasarnya memiliki tujuan :
Pertama, untuk memperlihatkan
perasaan hina di hadapan Allah SWT, sehingga diharapkan muncul dalam dirinya
sebuah prinsip, bahwa Allah lah satu-satunya Dzat Yang Maha Mulia. Dan seorang
hamba tidak dibenarkan untuk bersikap sombong; karena pada dasrnya, tidak ada
seorang hambapun yang paling mulia dihadapan Allah SWT, apapun bangsanya, warna
kulitnya, ataupun kedudukannya, semuanya tidak akan menjadikannya mulia di
hadapan Allah SWT, kecuali dibarengi dengan kualitas ketakwaan yang
sesungguhnya (melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi segala
larangan-Nya).
Allah SWT berfirman :
Artinya: Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujuraat (49) :13)
Kedua, memperlihatkan rasa cinta
yang sesungguhnya kepada Allah SWT. Rasa cinta merupakan anugerah dari Allah
SWT, oleh karenanya, harus senantiasa disyukuri dan diarahkan atau diporsikan
sesuai dengan kehendak Dzat Yang Memberikannya.
Ketiga, memperlihatkan rasa takut
kepada Allah SWT (dari adzab-Nya), dan memperlihatkan pengharapan yang seutuhnya
kepada rahmat-Nya.
Dalam kehidupan sehari-hari,
hamba Allah SWT selalu dibarengi dengan dua perasaan, yaitu perasaan takut dan
berharap. Namun demikian, bagi seorang hamba yang selalu istiqamah untuk
melakukan ibadah kepada Allah SWT, tentunya rasa takut tersebut akan dapat
dihindarkan, ia akan selalu memiliki keyakinan bahwa tidak ada yang perlu
ditakuti dalam hidup ini, kecuali terjerembabnya diri ke dalam kemaksiatan;
karena ketika itu terjadi, berarti adzab Allah lah yang akan menimpa dirinya.
Allah SWT berfirman,
Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. ( (2) :218)
Keempat, memperlihatkan rasa
syukur yang mendalam terhadap semua ni’mat Allah SWT yang telah diberikan.
Allah SWT berfirman.
Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi.Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qashshash (28) : 77
1.5 Kisah Teladan Seputar
Ma’rifatul Insan
Dalam Al-Qur’an dikisahkan
mengenai kehidupan seorang Nabi Allah yang bernama Yusuf bin Ya’qub ketika ia
berada di lingkungan istana tempat di mana ia dirawat dan dibesarkan. Yusuf
adalah seorang nabi yang sangat tanpan, sehingga dengan ketampanannya, istri
majikan yang merawatnya sampai tergoda dan tergila-gila olehnya.
Pada suatu ketika istri
majikannya bermaksud menggoda Yusuf untuk melakukan perbuatan tidak senonoh
dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengannya, andaikata dia
tidak melihat tanda (dari) Rabbnya, seingga ia berpaling dari kemungkaran dan
kekejian tersebut.
Dan keduanya berlomba-lomba
menuju pintu dan istri majikannya itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang
hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu dimuka pintu. Wanita
itu berkata:"Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud serong dengan
isterimu, selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih".
Yusuf berkata: "Dia menggodaku untuk menundukkan diriku (kepadanya)",
Pada saat itu, seorang saksi dari
keluarga wanita itu memberikan kesaksiannya: "Jika baju gamisnya koyak di
muka, maka istri majikannya itu benar, dan Yusuf termasuk orang-orang yang
dusta. Dan jika baju gamisnya koyak di belakang, maka istri majikannya itulah
yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar".
Maka tatkala majikan Yusuf itu
melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang berkatalah dia: "Sesungguhnya
(kejadian) itu adalah di antara tipu daya kamu, sesungguhnya tipu daya kamu
adalah besar". Selanjutnya majikan Yusuf berkata,”(Hai) Yusuf
:"Berpalinglah dari ini, dan kamu hai isteriku mohon ampunlah atas dosamu
itu kepada Allah; karena kamu sesungguhnya termasuk orang-orang yang berbuat
salah".
Kejadian tersebut diam-diam telah
tersiar ke luar istana, sehingga wanita-wanita di kota berkata:"Isteri
Al-Aziz menggoda bujangnya untuk menundukkan dirinya (kepadanya), sesungguhnya
cintanya kepada bujangnya itu adalah sangat mendalam. Sesungguhnya kami
memandangnya dalam kesesatan yang nyata".
Maka tatkala istri majikan yusuf
mendengar cercaan mereka, diundangnyalah wanita-wanita itu dan disediakannya
bagi mereka tempat duduk, dan diberikannya kepada masing-masing mereka sebuah
pisau (untuk memotong jamuan), kemudian dia berkata (kepada
Yusuf):"Keluarlah (nampakkanlah dirimu) kepada mereka". Maka tatkala
wanita-wanita itu melihatnya, mereka kagum kepada (keelokan rupa)nya, dan
mereka melukai (jari) tangannya dan berkata:"Maha sempurna Allah, ini
bukanlah manusia. Sesungguhnya ini tidak lain hanyalah malaikat yang
mulia".
Singkat cerita, Yusuf pun
dipenjarakan oleh majikannya, namun hal itu tidak membuat Yusuf bersedih atau
berontak, akan tetapi ia segera memohon kepada Allah SWT,"Wahai Rabbku,
penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika
tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung
untuk ( memenuhi keinginan mereka ) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang
bodoh".
Dari kisah tersebut, dapat
diambil hikmahnya, bahwa secara fitrah memang manusia memiliki kecendrungan
untuk melakukan hal-hal yang menurut perasaan dan hawa nafsunya baik lagi
menyenangkan. Seandainya tanpa ada bimbingan wahyu dan kecerdasan akalnya, maka
sudah barang tentu hawa nafsu tersebut sudah terlampiaskan, meskipun sudah
diketahui dampak atau akibat yang ditimbulkannya.
Manusia dituntut agar senantiasa
menggunakan akalnya dengan baik, senantiasa memikirkan akibat baik dan buruk
dari suatu amal yang hendak dilakukannya, agar supaya tidak menyesal dikemudian
hari. Dan disamping itu, ia tidak lupa untuk selalu memohon pertolongan dan
hidayah Allah SWT.
Yusuf adalah sosok manusia yang
cerdas dalam berfikir, tidak terburu-buru dalam menentukan sikapnya; karena ia
menyadari bahwa hal yang demikian itu akan menjadikannya menyesal seumur hidup.
Dengan kesabaran dan kecerdasan yang dimilikinya, ia mampu bangkit menjadi
orang yang terpandang di tengah-tengah masyarakat banyak dan kisahnya
senantiasa dikenang sepanjang masa. Wallahu A’lam bish-Shawwab.
SEMOGA BERMANFAAT
- BERBAGI ITU INDAH -
1 komentar so far
jazakallah khairan
Tinggalkan jejakmu dengan menulis di kolom komentar :)
EmoticonEmoticon